Batik Lasem memiliki arti tersendiri dalam dunia batik. Motif, warna, dan kehalusan membuat batik Lasem sangat digemari oleh masyarakat, tidak hanya di Jawa Tengah dan sekitarnya melainkan juga di luar Jawa bahkan luar negeri.
Batik Lasem diakui oleh masyarakat dunia, pasti salah satunya dengan ditampilkan koleksi batik Lasem di Museum Universitas California Amerika Serikat.
Kita dapat melihat bersama bagaimana kehalusan, keunikan motif dan keindahan warna batik Lasem tersebut. Tentu saja dibalik keindahan batik Lasem, ada tangan-tangan terampil yang membuat karya seni batik tulis. Sehingga selayaknya tangan-tangan terampil pengrajin dihargai dan diteruskan oleh generasi muda terutama di desa-desa asal pengrajin batik.
Krisis Regenerasi Pembatik
Hampir 1 tahun Institut pluralisme Indonesia (IPI) melaksanakan program “Revitalisasi Budaya dan Usaha Kecil Batik Lasem . Dalam pelaksanaan program, beberapa kali Tim IPI berkunjung ke rumah produksi batik pengusaha-pengusaha batik Lasem. Selain bertukar pikiran dengan pengusaha, kami juga berdialog dengan buruh batik untuk mengetahui proses pembuatan batik dan kehidupan mereka.
Sebagian besar buruh batik yang kami temui berusia di atas 40 tahun walaupun ada satu dua yang berusia 20 tahunan. Kondisi ini memperkuat kekhawatiran masyarakat terhadap kelestarian batik Lasem karena rata-rata umur pengerajinnya di atas 40 tahun dan sangat sedikit generasi muda yang mau menjadi pembatik.
Untuk membuktikan ancaman regenarasi pengrajin maka kami melakukan survei lapangan terutama dilihat dari komposisi umurnya. Survei ini untuk mendata tenaga kerja batik baik yang kerja harian di perusahaan batik, kerja borongan di rumah maupun yang sedang menganggur. Pada bulan Juni 2007 IPI melakukan survei pengrajin batik Lasem di tujuh desa, yaitu Warugunung, Langkir, Sumberagung, Pancur, Doropayung, Japeledok, Jeruk dan Tuyuhan. Semua desa tersebut berada di Kecamatan Pancur, wilayah penelitian IPI. Pemilihan desa ini berdasarkan data Dinas Perindustrian, Perdaganganm dan Koperasi (Perindakop) Kabupaten Rembang tahun 2003 tentang jumlah pengrajin batik Lsem di Kecamatan Pancur.
Jumlah tenaga kerja batik di delapan desa asal pengrajin batik di Kecamaran Pancur sebanyak 585 orang. Setelah digolongkan menurut komposisi umur, tenaga kerja batik yang berusia diatas 45 tahun keatas sebanyak 216 orang (36%).
Jumlah pembatik yang berusia antara 36-45 tahun sebanyak 208 orang(35%) dengan kelompok usia 40-45 tahun lebih besar jumlahnya dibandingkan usia 36-39 tahun. Pengrajin yang berusia muda (dibawah 35 tahun) hanya sebanyak 156 orang (29%). Dalam kelompok usia muda yang berusia antara 20-25 tahun hanya 27 orang (5%) dan tidak ada tenaga kerja yang berusia dibawah 20 tahun.
Kemungkinan di tiga kecamatan asal pembatik lainnya seperti Kecamatan Lasem, Pamotan, dan Rembang komposisi tenaga kerja batik yang berusia lanjut lebih tinggi dibandingkan Kecamatan Pancur sehubungan dengan masih tingginya minat warga Pancur bekerja sebagai buruh batik. Hal ini dibuktikan dengan sebagian besar buruh batik yang bekerja di rumah produksi batik berasal dari desa-desa di kecamatan Pancur.
Edikitnya generasi muda di kecamatan Pancur yang bekerja dalam industri batik patut dipertanyakan terutama yang berusia antara 15-20 tahun. Karena sebagian besar anak muda di kecamatan Pancur hanya sekolah sampai SLTP Lalu setelah lulus mereka bekerja apa?
Novita (18 tahun) adalah anak seorang pembatik di dusun Gading, Desa Jeurk. Dia lulus SLTP pada tahun 2004 dan langsung kerja di perusahaan sarang burung sriti. Novita menuturkan sewaktu masih sekolah rumah ibunya mau mengajarinya membatik dia tidak mau sehingga sampai sekarang tidak bisa membatik itu menjadi alasan utama dia tidak bekerja sebagai pembatik.
Pernyataan Novita dikuatkan oleh Nur (18 tahun), temannya yang sama-sama anak pembatik , “Dulu saya pernah belajar membatik tetapi hasilnya jelek,” ujar Nur. Dia menambahkan pekerjaan membatik tidak enak karena rumit, asap dan pegal duduk di dingklik. Untuk itu mereka lebih pilih bekerja di perusahaan sarang burung walet seperti sebagian besar anak muda di kecamatan Pancur dan sekitarnya, walaupun selama bekerja tidak boleh ngobrol dari 07.00-120.00 dilanjutkan 12.30-16.00 dan upahnya sama dengan kerja harian sebagai buruh batik.
Dinas Pendidikan sebagai Institusi yang menaungi sekolah-sekolah dapat membuat kebijakan-kebijakan untuk mendorong adanya pembelajaran membatik.
Upaya Regenerasi Pengrajin
Bukan alasan upah dan suasana membatik membosankan yang mendorong generasi muda tidak mau bekerja sebagai pembatik. Melainkan ketidakmampuan mereka untuk membatik yang menjadi akar masalah sedikitnya generasi muda bekerja sebagai pembatik. Kami menemukan fakta yang memperkuat Kesimpulan tersebut.
Apin adalah siswa kelas II SLTP, ibunya seorang pembatik yang kerja borongan di rumah sejak kecil sebenarnya mau belajar membatik tetapi ibunya melarang. Ibunya takut mori dan malam milik pengusaha akan rusak dan cepat habis kalau Apin belajar membatik gunakan bahan-bahan tersebut. Apin tidak pantang menyerah menghadapi larangan ibunya. Saat Ibunya sedang istirahat membatik, dia curi-curi kesempatan dengan membatik di kain bekas.
Pengalaman Apin pasti juga dialami oleh teman-teman sebayanya, sebenarnya mereka ingin belajar membatik tetapi tidak ada sarana yang mendukung keinginan mereka untuk melestarikan batik Lasem.
Keinginan Mulia Upin dan teman-teman sebayanya sudah sepantasnya dijawab oleh berbagai pihak yang mempunyai kewenangan dan kepedulian terhadap regenarasi pengrajin batik Lasem. Berangkat dari tidak adanya sarana yang mendukung generasi muda khususnya anak-anak sekolah belajar membatik, Dinas Pendidikan Kabupaten Rembang lembaga kunci yang dapat memecahkan permasalahan ini. Dinas pendidikan sebagai institusi yang menaungi sekolah-sekolah dapat membuat kebijakan-kebijakan untuk mendorong adanya pelajaran membatik.
Noor Effendi, Kepala Dinas Pendidikan, menyambut postif keinginan untuk memasukan pelajaran membatik di sekolah-sekolah. “Pada tahun ajaran 2007 sekolah-sekolah di Kecamatan Lasem, Pancur, Pamotan dan Sluke akan menyelenggarakan pelajaran ketrampilan membatik,” tutur Noor.
Dengan demikian generasi muda Rembang dapat membatik, selanjutnya mereka dapat meneruskan karya para pengrajin untuk membuat batik Lasem.
Dukungan Semua Pihak
Terobosan Dinas Pendidikan melaksanakan pelajaran ketrampilan membatik di sekolah-sekolah patut kita hargai dan dukung bersama. Upaya regenerasi pengrajin batik Lasem tentu saja tidak akan berhasil apabila Dinas Pendidikan hanya kerja sendirian. Dukungan dinas-dinas terkait, FEDEP, Klaster Batik Lasem, Perkumpulan Pecinta Batik, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pengrajin, Pengusaha Batik Lasem dan lain sebagainya sangat diperlukan untuk keberhasilan upaya regenerasi ini.
Sigit Witjaksono, pengusaha batik Lasem, secara tegas mengatakan “kalau pengusaha tidak memlakukan pembelajaran untuk anak-anak muda supaya tercipta regenerasi pembatik. Pengusaha batik Lasem juga tinggal tunggu waktu habisnya pembatik”.