Mbah Kasmijah, Semangat Pengabdian Seorang Pembatik

Kasmijah, biasa disapambah Jah (nenek Jah), seorang perempuan lanjut usia yang telah menekuni profesi sebagai pembatik berpuluh-puluh tahun. Sejak usia 12 tahun, mbah Jah sudah mulai membatik dengan upah 2-5 sen.

Usia 20 tahun dia menikah dan melahirkan anak pada saat Indonesia dijajah oleh Jepang. Saat wawancara ini  dilakukan pada tahun 2007 mbah Jah berusia 84 tahun.

Sejak lahir mbah Jah tinggal di desa Karaskepoh, kecamatan Pancur, kabupaten Rembang. Saat ini beliau tinggal sendiri, suaminya meninggal beberapa tahun lalu, di sebuah rumah kecil bekas kandang sapi berdinding gedheg (anyaman bambu). Mbah Jah mempunyai tiga anak. Semuanya sudah berkeluarga dan bertempat tinggal di desa Karaskepoh.

Namun, mbah Jah tidak mau tinggal bersama anak-anaknya karena merasa tidak nyaman. Mbah Jah memilih tinggal sendiri dan tetap mencari nafkah sendiri dengan membatik, meski punggungnya sering merasa nyeri saat membatik. Setiap kali punggungnya terasa nyeri, mbah Jah terpaksa berhenti membatik sebentar untuk istirahat.

Setiap hari mbah Jah membatik di rumah, mulai pukul 07.00 sampai 16.00 diselingi istirahat makan dan sholatdhuhur. Kain berasal dari tetangganya yang bekerja harian sebagai pembatik di Lasem. Keahlian mbah Jah adalah nembok yaitu menutup bagian dari motif batik yang tidak diwarnai. Upah yang diterima mbah Jah untuk nembok satu kain sebesar 1.500 rupiah. Pekerjaan ini bisa diselesaikannya dalam waktu satu atau dua hari. Uang sebesar itu digunakan mbah Jah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Ketika ditanya ”Apakah cukup? ”, mbah Jah menjawab ”Dicukup-cukupkan!”. Walaupun hidup dengan mengandalkan upah sekecil itu, prinsip kemandirian tetap kuat dipegangnya. Bahkan mbah Jah tidak mau menerima kiriman makanan dari anaknya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *