“Membatik adalah pekerjaan yang jarang dihargai sebagai pekerjaan seni, dikatakan seni karena membutuhkan perasaan, keterampilan dan keahlian, tidak asal – asalan, memerlukan ketekunan untuk menyelesaikan seluruh bagian lembaran dan menunutut kejelian mata untuk menyusun dan merapihkan detail setiap pola dan bentuknya. Lalu… menjadi biasa kalau ini dilakukan oleh orang yang masih muda, tapi bagaimana kalau pekerjaan ini dilakukan oleh seorang nenek tua yang berumur lebih dari 90-an tahun?”.
Di sebuah desa yang cukup tandus dan kering, yang dikelilingi pohon jati yang meranggas karena musim kemarau telah datang dan bertahan cukup lama, terdapat seorang Mbah1 tua yang kerap disapa Mbah Sukini. Berperawakan kecil, langsing dan berkulit kuning langsat. Sorot mata dan wajahnya menunjukkan beliau adalah seorang berkeinginan keras, berani berjuang dan tidak mudah menyerah dengan situasi. Siapapun orang yang melihatnya pasti akan heran karena kemampuannya mengisi keseharian hidupnya di masa tua.
Ditemui di teras rumahnya, di desa Jeruk, kabupaten Rembang, saat terik matahari menyengat, Mbah Sukini terdiam saat melihat orang tak dikenal memasuki area halaman rumahnya. Setelah bincang awal dengan anak yang berada didekatnya, yang juga sedang membatik, lalu mengalir percakapan yang memberi inspirasi.
Mbah Sukini mulai membatik sejak 71 tahun yang lalu. Saat wawancara ini dilakukan pada November 2006, beliau berusia 89 tahun. Mbah Sukinitinggal bersama anak pertamanya yang bernama Painah dan menantunya. Setiap hari mulai dari sekitar pukul 07.00 pagi, beliau telah siap di bangku kayu berukuran kecil yang menjadi tumpuannya duduk dan meng ’carat’ ’kan malam pada kain mori yang digantung pada bambu yang ada dihadapannya hingga sekitar pukul 16.00 – 17.00 WIB. Satu lembar kain dapat diselesaikannya dalam 2 hari dan dihargai Rp. 1500,- /lembar. Saat ini pekerjaan membatik menjadi pekerjaan utama ‘si Mbah’ sehari – hari, berbeda dengan ketika usianya masih muda, terkadang beliau menjadi buruh tani atau buruh ‘ikut orang’2
Mbah yang berasal dari desa Ngropoh, kecamatan Pamotan dan memiliki tiga anak ini, mempunyai kelebihan yang jarang dimiliki oleh orang – orang seusianya. Beliau mempunyai tingkat kejelian mata yang sangat tinggi, di umurnya yang lebih dari 90 tahun beliau masih mampu melihat dengan jelas. Ini dibuktikan dengan kemampuannya menggoreskan cantingnya untuk membatik motif dengan tingkat kerumitan tinggi. Bahkan beliau masih dengan lancar dan tepat memasukkan benang ke dalam jarum tanpa bantuan kaca mata.
Di usia yang sudah lanjut, sebenarnya Mbah Sukini sudah tidak perlu lagi bekerja, namun beliau justru akan sakit apabila tidak membatik. Walaupun beliau mempunyai cukup uang untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari karena anak – anaknya kerap memberinya uang, namun tetap saja Mbah Sukini tidak mau berpangku tangan, dengan kemauan dan semangatnya yang tinggi beliau tetap mengisi hari – harinya dengan membatik.
Keterampilan khasnya dalam membatik adalah nglonthongi, menggambar motif secara langsung di kain mori dengan lilin tanpa membuat pola terlebih dulu. Keahlian ini jarang ditemui di desa Jeruk pada saat ini. Kegemarannya membatik sepertinya terwariskan ke anak pertamanya Painah.
Sebenarnya banyak keterangan yang dapat digali lebih dalam, namun kendala pendengaran mbah Sukini membatasinya. Juariah(Sekretaris Kelompok Usaha Bersama Perempuan Pembatik “Srikandi Jeruk”) dan Painah menjadi penerjemah bagi penulis dalam perbincangan tersebut. Ketika penulis minta izin mbah Sukini untuk mengambil fotonya, beliau tampak senang, sambil berkata dalam bahasa Jawa apakah foto tersebut akan dibawa ke Jakarta. Di akhir perbincangan Mbah Sukini memberi “kejutan”, yaitu keinginannya untuk jajan es. Satu hal lagi yang membuat orang kagum, di usia beliau masih sanggup menikmati minuman dingin.
Dari perbincangan tersebut, banyak pelajaran berharga yang diperoleh, antara lain, semangat hidup yang tidak pernah padam walau fisik telah renta oleh usia, ketekunan, keuletan, kemandirian, kesabaran, kesederhanaan dan prinsip hidup lain dari mbah Sukini yang dapat menjadi teladan bagi generasi muda.
Mbah Sukini mendapatkan penghargaan dari Yayasan Batik Indonesia pada tahun 2007. Uang penghargaan digunakan untuk membeli seekor sapi betina yang sedang hamil. Mbah Sukinibahagia dapat melihat kelahiran anak sapinya. Tidak lama kemudian beliau meninggal dunia pada tahun 2008.
Dedikasi mbah Sukini terhadap seni budaya batik sangat mengesankan. Membatik sudah menyatu dengan jiwa sepanjang hidup mbah Sukini.
Semoga generasi muda memiliki semangat melanjutkan tradisi membatik dengan penuh ketekunan seperti yang dilakukan mbah Sukini dan para pembatik senior lainnya.