Diana Budhi Setyaningsih
“ SAYA TIDAK TAKUT PERSAINGAN…”
Ditemui di rumahnya Desa Sepacar Tirto Pekalongan, usai memberikan pelatihan batik cap kepada 4 orang pemuda desa dari Jeruk yang dikirim IPI. Diana ( 32 tahun) panggilan akrab ibu dari dua orang anak ini terlihat sangat energik dan optimis menjawab setiap pertanyaan ketika tim IPI menanyakan perihal aktifitas serta motivasinya dalam memberikan pelatihan batik cap. Baginya yang terpenting bahwa ilmu itu akan lebih bermanfaat jika dibagikan kepada orang lain, terlebih lagi jika sesedikitpun ilmu dan ketrampilan yang dia berikan dapat memberikan kesempatan bagi para pemuda untuk bekerja dan menciptakan usaha sendiri. “ Saya berani ambil resiko untuk mendobrak tradisi yang mengajarkan ketrampilan batik hanya untuk sanak-keluarganya saja. Kalau demikian terus bagaimana budaya batik itu akan terus dilestarikan”, demikian Diana menambahkan.
Diana menyadari betul dengan tindakannya itu dapat menimbulkan kecemasan diantara pengusaha batik cap umumnya, barangkali mereka akan ketakutan jikalau mereka akan mendapatkan semakin banyak pesaing bisnisnya itu. Namun ketika tim IPI menanyakan apakah dia sendiri yang juga pengusaha batik cap merasa takut akan persaingan ini? Dia menjawab dengan tegas “Saya tidak merasa takut akan persaingan dari siapapun karena hal tersebut memicu saya untuk semakin kreatif, malah saya merasa bangga bahwa ilmu yang saya miliki dapat dipelajari untuk banyak orang terlebih lagi untuk pemberdayaan masyarakat”. Hal ini memang patut disadari karena Pekalongan mempunyai banyak sekali pengusaha batik, maka iklim persaingan menjadi sangat ketat. Oleh karena itu mereka harus senantiasa melakukan inovasi baik dalam hal kain, pewarna, malam, teknik pengecapan, teknik pewarnaan, sampai pada barang jadi. Lihat saja inovasi mereka di pasar Setono tidak hanya melulu kain batik hanya untuk pakaian, tapi juga sudah berubah menjadi aneka warna kerajinan mulai dari kain horden, tempat koran, sampai pada sarung bantal. Waow luar biasa, mungkin perlu diusulkan kalau Pekalongan bukan hanya mendapatkan julukan sebagai kota batik tapi juga kota sejuta inovasi.
Sebelum menggeluti usaha batik, Diana bekerja di Museum Batik Pekalongan. Semasa dia bekerja di musem, dia aktif untuk mempromosikan budaya dan pengenalan teknik membatik kepada masyarakat sekitar, khususnya pelajar SD sampai SMA. Begitu semangatnya dia dalam mempromosikan usahanya itu sampai-sampai dia sendiri mendatangi sekolah-sekolah dari Batang sampai Pemalang untuk mengunjungi Museum Batik Pekalongan sekaligus mengikuti pelatihan kilat. “ Sangat disayangkan jika Pekalongan yang katanya kota batik, tapi anak-anak mudanya ketika ditanya masalah batik kok tidak tahu”, demikian kenang Diana ketika masih aktif di museum dengan program paket pelatihan batik untuk pelajar 2006-2008 silam.
Totalitas Melestarikan Batik
Setelah kelahiran anaknya yang kedua Muhammad Daniel Haq tahun 2007 lalu, Diana tidak bisa optimal bekerja di museum. Diana memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanya itu kemudian totalitas berkolaborasi dengan suaminya Muhammad Farid (35 tahun) untuk menjalankan usaha batiknya. Sebelumnya dia hanya membantu usaha yang dirintis bersama suaminya sejak 2001. Usaha batiknya itu dirintis keteika dia prihatin melihat alat-alat perbatikan yang masih lengkap, tertumpuk di gudang begitu saja. Alat-alat tersebut adalah milik mertua Diana yang dahulu juga mempunyai usaha batik namun kemudian tutup akibat krisis moneter 1997. Sebenarnya Diana sendiri tidaklah terlalu mengerti seluk beluk batik, karena dia dibesarkan bukan dari keluarga dan lingkungan pembatik. Selain mewarisi peralatan batik milik mertuanya ternyata Diana juga mempelajari ketrampilan dan cara mengelola usaha batik. Pengatahuan tentang perbatikannnya semakin mantab dia berkesempatan mempelajari sejarah dan filosofis batik sembari menjalankan pekerjaan utamanya di museum.
Diana dibesarkan dari keluarga yang bukan pembatik, dan dia sangat bersykur bisa mempunyai pengetahuan batik cap seperti sekarang ini. Dari latar belakang dan pergumulannnya ketika bekerja di museum itulah yang membuat Diana untuk lebih mengusahakan pelestarian budaya batik cap dengan memberikan pelatihan-pelatihan kepada generasi muda. Dia menempatkan batik cap sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakat, bukan hanya sekedar untuk mencapai kepentingan bisnis pribadi semata. Pilihannya untuk terus mengembangkan batik cap bukan tanpa alasan, meskipun secara ekonomis harus bersaing dengan batik print atau sablon. Melalui batik cap memungkinkan terserapnya jumlah tenaga kerja yang cukup banyak, dengan demikian berarti akan memberikan kontribusi enonomis yang cukup tinggi terhadap masyarakat disekitarnya. Selain itu harga dari batik cap relatif lebih terjangkau, tanpa harus menurunkan kualitas dan kandungan artistik di dalamnya. Alasan lainnnya adalah berkenaan dengan pemaknaan terhadap kain batik itu sendiri. Prasyarat mendasar dalam batik yaitu proses pelekatan malam dan dilanjutkan pewarnaan akan terus terpelihara. Dengan demikain kain yang dihasilkan memang benar-benar kain batik, bukan hanya kain print atau sablon yang bermotif seperti kain batik. Batik yang dihasilkan bukan hanya merupakan barang jadi semata, tetapi lebih merupakan proses menuangkan kreatifitas ke dalam selembar kain.
Kecintaanya terhadap budaya batik membuatnya tak ragu-ragu untuk terus melakukan inovasi dan membagi-bagikannya melalui pelatihan-pelatihan. Dia membuka diri kepada siapa saja yang punya niat sungguh-sungguh untuk mengembangkan batik cap, bisa mengikuti program pelatihan yang diselenggarakannnya, terlebih lagi jika untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat. Dia berharap bahwa orang-orang yang dilatihnya kelak juga akan membagikan pengetahuan dan ketrampilannya kepada orang lain. Mereka yang sudah pernah dilatih diharapkan juga dapa membuka lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan taraf hidum masyarakat sekitarnya. Baginya pelestarian budaya batik dan spirit kepedulian sosial itu lebih luhur, bukan sekedar urusan bisnis belaka. (Slamet Haryono).