Sigit Witiaksono
Setia akan Panggilan Hidup
Setiap orang yang pernah berkunjung ke Lasem, pasti akan terasa masih kurang kalau belum beremu dengannya. Sikapnya yang ramah, semangat luar biasa, suka humor, dan berwawasan sangat luas, khususnya mengenai kota Lasem membuat setiap orang mempunyai kesan yang teramat mendalam terhadapnya. Walau usianya sudah mendekati 80 tahun, susah untuk kita menemukan kesan “tua” darinya. Dialah Sigit Witjaksono (Njo Tjoen Hian), salah satu pengusaha batik dan ”sesepuh” masyarakat Lasem.
Jalan Hidup
Seperti anak muda yang lain, Sigit punya keinginan mengenyam pendidikan yang berkualitas dengan jenjang setinggi-tingginya. Setelah lulus SMP di Lasem, ia melanjutkan sekolah di Semarang, tepatnya di SMA Loyola sebagai angkatan II. Pada tahun 1954 Sigit masuk ke Universitas Airlangga jurusan Hukum, satu angkatan dengan Prof. J.E. Sahetapy. Walaupun beban kuliah yang berat, ia tetap aktif dalam kegiatan olahraga kampus seperti: sepakbola, tenis meja, bulutangkis, dan lain sebagainya. Ditengah kegiatan kuliah dan olahraga yang begitu padat, pada tahun 1960 tiba-tiba Sigit terserang radang selaput otak. Berbulan-bulan ia menjalani rawat inap di rumah sakit hingga akhirnya terpaksa harus berhenti sebagai mahasiswa. Tetapi ada hikmah dari peristiwa ini, ia menemukan jodoh seorang bidan yang bekerja di rumah sakit tempatnya dirawat.
Setelah berhenti sebagai mahasiswa, Sigit menjadi guru bahasa dan Civic Education (kewarganegaraan) di SMA yang berbahasa Mandarin di Pasuruan. Pada tahun 1965 seiring pergolakan politik waktu itu, sekolah ditutup. Tentu saja hal ini membuat Sigit pusing, mau kerja apa lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta istri dan satu anaknya.
Sigit sudah pernah menjalani pekerjaan sebagai karyawan di bengkel dan sales kopi, tetapi tidak ada yang berhasil. Akhirnya Sigit bersama keluarganya pulang ke rumah orang tuanya di Lasem. Di Lasem, Sigit bekerja di kantor bus antarkota ”Kaloka”. Kebetulan pemiliknya, Tirto Konconoto (Lie Toen Oey), adalah teman lamanya. Tirto bilang padanya, ”Kalau kamu ikut saya terus maka kamu selamanya jadi buruh. Padahal bapak kamu adalah pengusaha batik besar, sebaiknya kamu meneruskan usahanya!”.
Nasihat dari bos ”Kaloka” menjadi pemicu awal bagi Sigit untuk mulai usaha batik. Ternyata Tirto tidak hanya memberikan nasihat saja, tetapi dia dan istrinya juga memberikan pinjaman modal kerja dan mengajarkan beberapa resep warna kepada Sigit dan istrinya. Dengan modal awal 10 pieces mori, Sigit dan istrinya mulai usaha batik. Berhubung morinya masih sedikit, maka kainnya dikethel di perusahaan batik milik adik bos ”Kaloka” – Lie Toen Hok, pemilik usaha batik tulis Lasem Cap Perkutut. Ia juga bilang ke Sigit, ”Kalau kamu mulai usaha batik seperti saya, kamu tidak usah bekerja sebagai karyawan lagi!” Nasihat ini menjadi lecutan bagi Sigit untuk lebih giat dalam merintis usaha batiknya.
Walaupun Sigit sudah punya perusahaan batik, ia tetap bekerja di Kaloka. Sedangkan perusahaan batik dijalankan oleh istrinya. Pada tahun 1974 Sigit berhenti dari Kaloka. Selanjutnya, pemilik bus ”Indonesia” meminta beliau bekerja sebagai Kepala Kantor di Lasem, tetapi karena pada tahun 1994 perusahaan bus Indonesia dijual oleh pemiliknya, Sigit pun berhenti dari pekerjaannya.
Dan mulai tahun itulah ia lebih banyak beraktivitas di rumah dengan terus aktif dalam kegiatan kegiatan sosial baik di Lasem, Rembang, maupun di luar kota, seiring perkembangan perusahaan batik “Sekar Kencana” yang dikelola istrinya.
Keprihatinan
Sewaktu krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1998, industri batik Lasem sangat terpukul. Banyak pengusaha batik Lasem menutup usahanya, karena tidak bisa lagi berproduksi akibat tingginya harga bahan batik. Sebagian besar merupakan barang impor, harga naik tajam seiring melemahnya nilai rupiah terhadap dollar.
Walaupun beban yang harus ditanggung sangat berat, Sigit tetap mempertahankan perusahannya, karena beliau beranggapan bahwa menjadi pengusaha batik adalah panggilan hidupnya. Bukan saja panggilan untuk berbisnis, tetapi juga melestarikan budaya dan nilai-nilai leluhur. Dan ternyata pilihannya tepat, usaha batiknya tetap berkembang sampai sekarang, sampai-sampai terpaksa menolak pesanan karena keterbatasan kapasitas produksi.
Ironis memang. Di antara banyak orang yang ingin mengembangkan bisnisnya, Sigit menolak pesanan batik dari konsumen. Itulah yang menjadi keprihatinan Sigit sampai sekarang. Sebenarnya ia ingin kapasitas produksi perusahaan ditingkatkan untuk mengembangkan pasar batiknya, tetapi semua itu terbentur pada keterbatasan pembatik yang ada di Lasem dan sekitar. Sampai-sampai antar pengusaha harus ”rebutan” pembatik untuk menin-gkatkan kapasitas produksi. Kondisi yang demikian akan memberikan dampak negatif bagi industri batik Lasem. Sigit tidak mau hal itu terjadi, maka ia membina anak-anak muda untuk menjadi pembatik di perusahannya.
Tentu saja keprihatinan Sigit di sini menjadi keprihatinan semua pihak yang terlibat dalam revitalisasi batik Lasem, maka daripada itu sudah selayaknya kita memulai usaha regenerasi pembatik!