Profil: Pengusaha Batik Lasem Buah Kerja Keras dan Dukungan Keluarga

Melalui pelatihan ini, peserta diharapkan mampu mengembangkan usaha sendiri dengan bantuan alat dan kemampuan yang diberikan. Tetapi setelah pelatihan selesai, beberapa peserta pelatihan malah menjual morinya kepada Sugiyem.

Walaupun sudah memproduksi batik sendiri, Sugiyem tetap bekerja sebagai buruh batik dari pagi sampai sore. Pekerjaan yang sudah dia tekuni sejak tahun 1974 di perusahaannya Tok Gie, Lasem. Dengan demikian Sugiyem harus kerja keras lagi membuat batik pada malam hari, waktu yang bia- sanya dimanfaatkan orang untuk istirahat. Dalam menjual batik, Sugiyem dibantu oleh suaminya, Abdul Ka-rim.

Dengan naik sepeda, Karim menjual batik ke desa-desa lain. Kalau Karim melihat ada ibu-ibu kumpul, dia langsung datangi dan menawarkan batik, “sopo sing butuh batik anti luntur, regane 17.500”. Satu batik terjual, Beli dua lembar mori. Dua batik terjual, Beli empat lembar mori, begitu seterusnya. Itu prinsip yang dipegang Sugiyem dalam mengembangkan usahanya.

Setelah lama memproduksi batik sendiri, tahun 1994 Sugiyem menetapkan diri untuk berhenti menjadi buruh batik dan memulai usaha sendiri secara penuh. Saat itu Sugiyem baru mempunyai dua bakul (pedagang) yang membeli batiknya. Menjadi pengusaha batik tidak dilewatinya dengan mudah. Beberapa pengalaman buruk harus dialaminya.

Tahun 1994 Sugiyem bersama putrinya, Wiwin, pergi ke Pasar Klewer untuk belanja bahan-bahan batik, sebelumnya mereka belum pernah ke Solo. Sesampai di Pasar Klewer, setiap ditanya orang tentang tujuannya, Sugiyem selalu menjawab “sedang mencari keponakannya yang kerja di Klewer”. Hal ini dilakukan untuk menghindari pencopet sehingga “mereka” tidak tahu kalau dia bawa uang untuk belanja.

Setelah selesai belanja, mereka pulang dengan naik bis jurusan Solo-Surabaya karena beranggapan bahwa bis tersebut akan lewat Rembang. Ditengah perjalanan sekitarMadiun, Sugiyem baru sadar kalau dirinya tersesat dan bertanya pada kernet “apa bis ini akan lewat Rembang”. Akhirnya mereka turun, dan mencari terminal terdekat untuk mencari bis jurusan Rembang, dengan mengotong 10 pieces mori dan bahan-bahan pewarnaan. Akhirnya mereka sampai rumah sekitar pukul 21.30.

Begitu juga pada tahun 2000, Sugiyem bersama suaminya belanja di Pasar Klewer. Setelah selesai belanja, mereka naik bis di terminal Solo. Pada saat naik bis, tas Sugiyem dicopet. Mereka melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Karena mereka tidak bawa uang lagi maka mereka juga minta tolong kepada polisi untuk membantu cari taxi. Polisi tersebut jadi jaminan bagi sopir taxi bahwa Sugiyem akan membayar ongkos sesampai di rumah. Sesampainya di rumah, Sugiyem membayar ongkos taxi sebesar 350.000.

Tidak cukup itu saja, kerikil-kerikil yang harus dilewati Sugiyem dalam perjalanannya menjadi pengusaha. Ketidaktahuan dan keirian dari tetangganya akan kesuksesannya menimbulkan tuduhan negatif terhadap Sugiyem. Ada tetangga yang menuduh Sugiyem punya “pesugihan” sehingga dia bisa kaya, bahkan beberapa warga sempat mengecek langsung dengan mendatangi rumahnya. Dia santai saja menghadapi gosip ini. Seiring dengan banyaknya tamu datang kerumahnya, tuduhan miring itu hilang.

Cobaan paling besar yang harus ditanggung Sugiyem datang pada saat krisis moneter, tahun 1998. Saat itu pemasaran batik lasem sedang sulit-sulitnya Namun dia tetap berproduksi terus hingga batiknya menumpuk sampai lima karung. Ditengah kesulitan ini, Karim berusaha membantu istrinya. Dia mencoba menawarkan batik ke Matahari Department Store, Kudus.

Tetapi staf Matahari menolak, bahkan batiknya dikira rombengan (barang bekas) karena dia cuma membawa tiga kain. usai krisis, lambat laun penjualan batiknya semakin meningkat, salah satunya dengan mengikuti pameran batik di berbagai daerah. Bahkan kadang-kadang Sugiyem kehabisan stok karena terlalu besarnya permintaan. Keuntungan dari usaha batik yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, dia gunakan untuk membangun rumah. Sebelumnya rumahnya berdinding gedeg (anyaman bambu) dan berlantai tanah, dibangun menjadi rumah tembok dan berlantai keramik. Sangat berbeda dengan rumah rumah di sekelilinginya.

Semua cobaan dilalui Sugiyem dengan lapang dada. Takwa dan selalu berdoa kepada Tuhan, itu merupakan pegangan Sugiyem dalam meniti kesuksesan, dari buruh menjadi pengusaha batik Lasem. Sesuatu yang mungkin oleh semua buruh batik dianggap sebagai sesuatu yang mustahil, tetapi Sugiyem telah membuktikan bahwa dia bisa melakukannya. Siapa mau mengikut jejak Sugiyem?

Oleh :
Hempri Suyatna, M.Si.
Dosen Jurusan Ilmu
Sosiatri Fisipol UGM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *