Regenerasi Pembatik Tuban
Potret Uswatun Hasanah
Tekstil tradisional saat ini boleh dibilang lagi “naik daun”. Berbagai jenis dan motif tekstil tradisional dapat kita temui di pameran-pameran dan toko dalam bentuk baju, perlengkapan interior, maupun kain atau sarung. Harga yang ditawarkan juga sangat kompetitif, tergantung dari jenis tekstil yang dipakai dan bentuknya. Jenis tekstil tradisional yaitu batik, tenun, songket, sulam usus, kasab, dan lain sebagainya.
Tingginya permintaan harus dikuti oleh kualitas yang meningkat pula. Banyak pengusaha yang sekedar mengejar kuantitas dan keuntungan rupiah saja, tanpa mau meningkatkan kualitas produksi. Hal ini menjadi salah satu alasan turunnya pamor tekstil tradisional yang diikuti dengan turunnya permintaan. Selain hal tersebut, keberadaan tekstil tradisional bergantung pada jumlah pengrajinnya. Banyak anak muda yang sudah tidak tertarik lagi menjadi pengrajin kain tradisional. Salah seorang yang prihatin dengan langkanya jumlah pembatik dan penenun adalah Uswatun Hasanah. Uswatun, begitu ia biasa dipanggil bukanlah seorang pembatik yang handal. Keluarganya pun bukan keluarga pembatik. Dari kecil keterampilan yang dimilikinya adalah menenun gedog yang diajarkan secara turun-temurun. Suatu saat Uswatun dibuat penasaran dengan batik, karena di kampungnya di Desa Kedungrejo, Kerek – Tuban, dikenal sebagai penghasil batik tenun, tapi ia belum bisa membatik.
Tahun 1993, Uswatun memberanikan diri pergi ke daerah Karang Semandung, Tuban untuk belajar membatik. Ia menemui salah satu pengusaha batik di daerah tersebut, yaitu Ibu Emi, pemilik batik Afra Karang. Uswatun minta Ibu Emi sudi mengajarinya membatik bahkan rela berkorban apapun asal ia bisa membatik. Melihat kegigihan Uswatun, akhirnya Ibu Emi sudi ‘menularkan’ keterampilan batik yang dimilikinya kepada Uswatun. Oleh Ibu Emi, Uswatun dilatih terjun langsung pada proses produksi batik mulai dari belajar menggambar motif, nglengkreng, nerusi, ngiseni, nembok, dan mewarna. Hal tersebut dilakukan Uswatun dari bulan Agustus sampai dengan Oktober 1993. Setelah dirasa cukup, Uswatun pulang ke desanya.
Tanggal 22 November 1993, menjadi hari yang bersejarah bagi Uswatun, karena pada hari itulah untuk pertama kalinya ia mendapat pesanan batik untuk seragam Pamong Praja Tuban. Bukan main senangnya ia karena mulai dipercaya pihak lain. Dibantu adiknya yang sudah lebih dulu belajar mambatik, Uswatun mengerjakan pesanan tersebut dengan rapi, teliti, dan tepat waktu. Ia tak ingin pemesan kecewa terhadap produknya. Di sela-sela mengerjakan pesanan, Uswatun masih tetap berlatih mengembangkan keterampilan batik yang ia miliki. Ia pernah mencoba membuat 100 buah kaos untuk dibatik, tapi hasilnya banyak yang rusak. Setelah itu ia membeli lagi 100 buah untuk belajar warna, hasilnya kurang memuaskan dan juga banyak yang rusak. Uswatun sendiri tak mudah menyerah. Awal nya usahanya mengembangkan batik tidak mendapatkan dukungan dari Widodo, suaminya. Bagi Widodo usaha yang dilakukan Uswatun ini tidak menarik dan hanya akan meng hamburkan uang. Namun, secara perlahan tapi pasti, Uswatun terus menerima pesanan batik dan senantiasa mengembangkan keterampilan yang dimilikinya. Ia menunjukkan kepada suaminya, bahwa apa yang dilakukan ada manfaatnya.
Dari pengalaman ketika memperoleh ilmu dan pengetahuan membatik gratis dari Ibu Emi, Uswatun ingin sekali menularkan ilmu yang telah dimilikinya untuk masyarakat Kedungrejo, terutama anak-anak. Ia ingin agar batik dan tenun gedog Kedungrejo tidak punah. Pada tahun 1994, mulailah Uswatun mengajak anak-anak untuk membatik di rumahnya. Pertama-tama anak-anak itu diajak jalan-jalan ke tempat wisata secara gratis. Sudah pasti, anak-anak tersebut senang, dan minta jalan- jalan gratis kembali. Uswatun setuju, asalkan mereka berlatih batik di rumahnya. Sejak saat itulah anak-anak yang berusia sekitar SD sampai SMP (lebih kurang 10 orang) mulai belajar batik di rumah Uswatun. Awal nya mereka hanya diajarkan cara menggambar motif, nglengkreng, isen-isen, nerusi dan nembok saja. Berbagai tingkatan dilakukan secara bertahap. Misalnya seorang anak yang belum mahir nembok halus dan rapi tidak akan naik jenjang belajar nerusi. Tapi, bila mereka bisa nembok dengan halus, rapi dan disiplin, mereka akan naik ke jenjang ngleng kreng dan gambar motif (Catatan: tingkatan-tingkatan batik di Tuban adalah nembok, nerusi, isen-isen, nglengkreng dan gambar motif). Selanjutnya, jika mereka sudah mahir, mereka boleh membatik di kaos. Masing-masing memperoleh jatah 10 lembar dan rata-rata selesai dalam waktu sebulan. Jika kaos yang mereka batik laku, mereka memperoleh imbalan yang hanya boleh digunakan untuk jajan dan membeli buku tulis. Uswatun sengaja tidak membiasakan anak-anak dengan upah, karena mereka bukan pekerja, melainkan berlatih membatik. Kalau kebetulan hasil batiknya dibeli orang, anak-anak tersebut memperoleh uang sebesar harga kain dikurangi bahan. Jumlah ini relatif lebih sedikit dibandingkan dengan honor pembatik sekitar Rp 4.000,00 sampai dengan Rp 60.000,00 per lembar yang dikerja kan selama 2 sampai 3 hari.
Makin lama usaha batik Uswatun makin besar. Hal ini diikuti dengan jumlah anak yang belajar membatik meningkat menjadi 60 orang. Anak-anak tersebut datang sendiri, membatik dan membersihkan tempat sebelum pulang. Kondisi seperti ini menjadi pemandangan sehari-hari di rumahnya. Uswatun pun tidak mematok anak-anak tersebut harus berlatih berapa jam sehari, karena bagi Uswatun berlatih membatik adalah bermain bagi anak-anak. Jadi terserah anak-anak yang menentu kan berapa lama mereka akan berlatih. Demikian juga dengan motif batik, diserahkan sepenuhnya kepada anak-anak. Satu hal yang selalu Uswatun tanamkan kepada anak-anak adalah sopan kepada orang lain dan disiplin dalam bekerja. Ini terbukti, ketika anak-anak berlatih membatik, merekaserius, jarang bercanda dengan teman lain, selalu mengontrol pekerjaannya sendiri dan bersama-sama mereka membersihkan tempat latihan membatik.
Selain membatik, anak-anak juga dilatih Uswatun belajar menari dan ludruk, bahkan mereka pernah manggung di Bali. Uswatun juga mempunyai keinginan agar budaya yang ada di Desa Kedungrejo tidak punah. Dan manurutnya yang potensial mempertahankan budaya tersebut adalah anak-anak.
Melihat keberhasilan dan kegigihan Uswatun, suaminya mulai mendukung kegiatan Uswatun. Hal ini ditunjukkan Widodo dengan membantu menjual kain batik dan tenun produksi Uswatun. Apalagi ketika suaminya tahu bahwa proses mewarnai batik ada seninya tersendiri, terutama ketika mencampur warna-warna, makin tertariklah ia. Mulai saat itu suaminya meninggalkan usaha membuat tahu, dan mendukung serta membantu seluruh kegiatan dan usaha yang dilakukan Uswatun.
Salah satu faktor pelestarian kebudayaan yang ada di desa Kedungrejo, Tuban adalah berkat Uswatun. Tidaklah berlebihan di tengah kesederhanaan dan kerendahan hatinya tersimpan potensi yang hebat sebagai penyelamat budaya setempat. Kapan kita mengikuti jejaknya untuk menyelamatkan kebudayaan di lingkungan kita sendiri?